Alhasil,
pementasan Teater Syahid pada 16, 17, 18 Oktober 2014 yang mengusung lakon
Canniballogy garapan Benny Yohannes, salah seorang penulis naskah drama dan
dosen di STSI Bandung tersebut menyita ribuan mata penonton. Kontan Mitha
(18th), mahasiswa UNJ yang baru menonton dua pementasan garapan Teater Syahid
itu berujar "Tumben, Teater Syahid mampu memahamkan saya tanpa harus
menonoton tiga atau empat kali seperti halnya MADA pada pementasan
sebelumnya".
Bangkit
Sanjaya, sutradara jebolan Teater Syahid yang sedang mengangsu ilmu di Teater
Koma itu menegaskan alasan pemilihan naskah Canniballogy adalah demi kesesuaian
keadaan negeri kita pada saat ini yang masih saja mentradisikan budaya
kanibalisme sampai sekarang. Oleh karena itu, kami coba mengembalikan ingatan
audiens pada sejarah hitam yang sudah sepatutnya dijadikan teladan atau
pelajaran dalam menjalani roda keberlangsungan sekarang dan mendatang".
Sedikit
mengulas canniballogy, BenJon menghadirkan tokoh Suman[to] dan Suhar[to](Irfan)
dalam sebuah laku yang hakikinya merupakan homo
homini lopus 'manusia menjadi serigala bagi sesamanya' dan tergambar dengan
sebenarnya. Di sisi lain ini merupakan sindiran sinis karena latar yang
digunakan dalam cerita menggunakan nama Mojokuto. Sebuah lokasi yang disamarkan
menjadi base camp dari antropolog Cliffort Geertz, yang terkenal
dengan bukunya “Religion of Java”.
Dalam
fragmen lain, dideskripsikan tokoh Suman yang diperankan oleh Jafar, pemuda
miskin yang diadili Mas Ageng (Fiki)akibat ulahnya memakan daging manusia. Ini
menggambarkan bahwa jurang pemisah antara si miskin dan si kaya memang
mengakibatkan munculnya tindak tidak manusiawi, namun tetap bisa
diperlakukan bijak secara materi humanis.
BenJon
juga menghadirkan tokoh Landless (julpong) berkostum pemain bola. Ini merupakan
simbol sistem kolonial Belanda yang dinilai piawai, sitematis, namun licik
dalam menyusun strategi. Selain itu ditampilkan pula empat penari serimpi dari
kalangan Landless. Ini merupakan gambaran lemahnya generasi muda dalam
mempertahankan keaslian nilai budaya Indonesia ketimbang budaya asing.
Sebelas
Maret dijadikan BenJon sebagai tonggak ketidakberdayaan rakyat Indonesia
menerima budaya kanibalisme yang dimandatkan pemimpin pada waktu itu. Rakyat
diminta untuk mengikuti sistem kekuasan yang berlaku, menghukum dan menghabisi.
Cannibalogy
merupakan naskah interteks/terbuka, yakni teks yang membawa audiens pada banyak
penafsiran, seperti keserupaan kejadian dengan sejarah, kontekstualitas dan
beberapa penafsiran lainnya, sebab BenJon sendiri merefleksikan beberapa
naskahnya pada sebuah pencarian. Tapi kemudian, sutradara memiliki keinginan
menghadirkan nuansa humor di dalamnya dengan tetap mempertahankan esensi
faktual dari unsur visual pada tokoh-tokoh dalam naskah ini. Hal ini
dipertahankan demi pembuktian atas dimensi psikologis rakus Suhar masih aktual
sebagai “pemakan” hak orang lain atau “pembunuh” kemanusian di Indonesia.
Nilai
sejarah dijadikan perbandingan kehidupan masa silam dengan kekinian seperti
dimunculkannya tokoh Landlees, Hoffmann, Ageng Rais, Ki butho(Ari). Nilai roman
dimunculkan dengan menghadirkan tokoh Sinta Salim(Fitri).
Bila
dikerucutkan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah Cannibalogy adalah
kesabaran, semangat humanis, kesetiaan dan patriotisme. Sehingga dihadirkanlah
oleh sutradara unsur dramaturgi, ludruk, unsur bunyi, koreografi;gerak, cahaya,
dan music yang dikemas apik bersama unsur artistik yang mampu membawa audiens
pada pencerahan.
Selama
3 hari pementasan digelar Canniballogy berhasil diapresiasi 3500 penonton. Hasil yang cukup menggembirakan itu menurut Nurma Elita
Sari, pimpinan produksi Canniballogy itu tidak diraih dengan mudah. Ia harus
lincah membagi waktu kuliah, keluarga dan kerja produksi. Selain itu gadis yang
mengambil konsentrasi akademik di jurusan Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta itu juga berujar gembira karena banyak pihak, baik dari sponsor maupun
dari media turut membantu dalam proses Cannibalogy tersebut.
·
eh ini penulisnya sapahh? ntap bener
BalasHapus